Nyanyian Dan Musik Dalam Islam
Selasa, 08 Januari 2013
0
komentar
Dalam kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al
Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian. Ia menjawab : “Saya
melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.” Orang itu bertanya : “Apakah
nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak saudaraku, jika Allah
memisahkan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan) pada hari kiamat, maka
di manakah nyanyian itu berada?”
Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya :
“Bagaimana pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hari
kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab :
“Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar)
pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.” Dan Ibnul
Qayyim menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang
Arab yang bebas dan bersih dari pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman
keras atau hal-hal yang memabukkan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak
mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas
pula dari iringan musik, baik yang sederhana sekalipun, seperti ketukan-ketukan
ranting, tepukan tangan, dan sebagainya.
Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas
seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan
menyatakan bahwa jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban
bijak dan sangat tepat. (Lihat Muntaqa Nafis halaman 306)
Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan
nyanyian) berkata : “Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa
mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh
orang-orang tolol. Yang melakukannya adalah orang-orang sufi yang dinamai para
oleh muhaqqiq sebagai orang-orang Jabriyah. Mereka adalah orang-orang yang
rendah kemauannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan, … .”
(Muntaqa Nafis halaman 308)
Asy Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan
yang (mengundang) penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat. (Dikeluarkan
oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min
Talbis Iblis halaman 306)
Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian)
adalah mantera zina. (Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318)
Dalam kitab yang sama (halaman 318), disebutkan pula nasihat
Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai Bani Umayah,
hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi rasa malu,
menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr,
sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamr berbuat.
Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi juga,
jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan.”
Adl Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan
bagi hati dan mendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307)
Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat
kepada guru-guru anaknya : “Hendaklah yang pertama kau tanamkan dalam
pendidikan akhlaknya adalah benci pada alat-alat musik, karena awalnya
(permainan musik itu) adalah dari syaithan dan kesudahannya adalah kemurkaan Ar
Rahman Azza wa Jalla.”
Imam Abu Bakar Ath Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar)
kitabnya, Tahrimus Sima’, menyebutkan :
[ … oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan
mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan hujjah dari Al Qur’an dan As
Sunnah. Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarkan
fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini secara
terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar
bahwa mereka telah teramat jauh menyimpang dari jalan kaum Mukminin. Allah
ta’ala berfirman :
“Dan siapa yang menentang Rasul setelah jelas bagi mereka
petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum Mukminin, Kami biarkan
dia memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahanam
sedangkan jahanam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An Nisa’ :
115) ]
Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa
Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya. Menurut Imam Malik,
apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah
segera dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib. Ketika beliau ditanya tentang
adanya rukhshah (keringanan) yang dilakukan (sebagian) penduduk Madinah, beliau
menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami
adalah orang-orang fasik.”
Imam Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti
Sufyan Ats Tsauri, Hammad, Ibrahim An Nakha’i, Asy Sya’bi, dan lain-lain
membenci al ghina’ dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal ini tidak
diperselisihkan di kalangan mereka. Madzhab Imam Hanafi ini termasuk madzhab
yang sangat keras dan pendapatnya paling tegas dalam perkara ini. Hal ini
ditunjukkan pula oleh shahabat-shahabat beliau yang menyatakan haramnya
mendengarkan alat-alat musik, walaupun hanya ketukan sepotong ranting. Mereka
menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan, dan ditolak
persaksiannya.
Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya mendengar
nyanyian dan musik adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah
kekufuran. Inilah perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadits-hadits
yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam.
Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau
jika bunyi musik itu kebetulan berada di rumah tetangganya. Hal ini pernah
dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di
sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan tidak perlu ijin, karena mencegah
kemungkaran adalah fardlu (wajib). Maka jika tidak boleh masuk tanpa ijin,
terhalanglah bagi manusia menegakkan kewajiban ini.”
Kemudian Imam Ath Thurthusi melanjutkan pula keterangannya
bahwa Imam Syafi’i dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya
al ghina’ adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan bahkan
merupakan sesuatu yang mengada-ada. Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi
maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya.
Para shahabat Imam Syafi’i yang betul-betul memahami ucapan
dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab beliau dengan tegas
menyatakan haramnya nyanyian dan musik dan mereka mengingkari orang-orang yang
menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’i) mengenai penghalalannya. Di antara
mereka adalah Qadly Abu Thayyib Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu
Shabbagh. Demikian pernyataan Imam Ath Thurthusi rahimahullah. (Mawaridul Aman
Muntaqa min Ighatsati Lahfan halaman 301)
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam
fatwanya menyatakan :
“Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah
bahwa sesungguhnya duf (rebana), alat musik tiup, dan nyanyian-nyanyian, jika
terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram,
demikian pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama Muslimin lainnya. Dan tidak
ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi
pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia (Imam Syafi’i) membolehkan
keduanya (nyanyian dan musik).
Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari
shahabat-shahabat beliau adalah dalam permasalahan ‘bagaimana hukum
masing-masingnya bila berdiri sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?’ Maka
siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang
hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini
adanya perselisihan di kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengar seluruh
alat-alat musik ini. Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu,
hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’i dan logis. Sebab tidaklah semua
perselisihan itu melegakan dan bisa jadi pegangan. Maka siapa saja yang
meneliti adanya perselisihan ulama dalam suatu persoalan dan mengambil
keringanan (rukhshah) dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus
dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman 303)
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari hafidhahullah
mengomentari pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal
(dalam Al Amru bil Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu
mengambil setiap keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau kekeliruannya,
berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Aman
halaman 303)
Diriwayatkan dari Imam Syafi’i secara mutawatir bahwa beliau
berkata : “Saya tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh
orang-orang zindiq, mereka menamakannya at taghbir dan menghalangi manusia
--dengannya-- dari Al Qur’an.” (Juz’uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh
Dliya’ Al Maqdisi dalam Mawaridul Aman halaman 304)
Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al Azhari (seorang imam
ahli lughah dan adab bermadzhab Syafi’i, wafat tahun 370 H) : “Mereka menamakan
suara yang mereka perindah dengan syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan
taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang
indah, kemudian mereka menari-nari lalu menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis
halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman 54)
Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir
dengan ‘illahnya (alasan) karena menghalangi manusia dari Al Qur’an, --padahal
at taghbir itu berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh)
terhadap dunia, para penyanyi mendendangkannya sementara hadirin
mengetuk-ngetuk sesuatu atau dengan mendecakkan mulut sesuai irama lagu--, maka
bagaimana pula ucapan beliau apabila mendengar nyanyian yang ada di jaman ini,
at taghbir bagi beliau bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan
bahkan mencakup segala perkara yang diharamkan?!
Adapun madzhab Imam Ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah,
puteranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan
kemunafikan dalam hati, ini tidaklah mengherankanku.” (Lihat Mawaridul Aman
305)
Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya.
Nyanyian itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Jangan bermajelis dengan mereka
(penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52)
Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu
mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya, jika
seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang
membuktikan jeleknya kesehatan akalnya, misalnya menggoyang-goyangkan
kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Dan ini tidak
berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan sangat jelas
bahwa nyanyian mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti
perbuatan pemabuk. Oleh sebab itu, pantas kalau larangan keras ditujukan
terhadap nyanyian.” (Muntaqa Nafis 307)
Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman halaman
320-322 : “Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi
menunjukkan dalamnya pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya,
sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh,
mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati penyakit-penyakit
hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.”
Beliau melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan
angin panas yang mempunyai pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit
kemunafikan. Dan kemunafikan tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya
tanaman dengan air.”
Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan
menghalanginya dari Al Qur’an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya. Karena
sesungguhnya Al Qur’an dan al ghina’ tidak akan bersatu dalam sebuah hati, selamanya.
Ya, karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan sangat
bertolak belakang. Al Qur’an mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu,
menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan
khalifah-Nya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan
(syahwat) dan keinginan hawa nafsu serta berbagai sebab kesesatan lainnya. Al
Qur’an juga melarang kita mengikuti dan meniru langkah-langkah syaithan.
Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan
dicegah oleh Al Qur’an. Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap
syahwat dan hawa nafsu, mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan
menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada
hal-hal yang (dianggap) menyenangkan.
Oleh karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki
kedudukan terhormat, kewibawaan, dan kecermelangan akal, serta keindahan iman
dan keagungan Islam, dan manisnya Al Qur’an akan tetapi ia senang mendengarkan
nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan rasa malu dalam
dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan kecermelangan akalnya telah
pula menjauhinya,. Akibatnya syaithan bergembira menyambut keadaan ini. Imannya
pun mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al
Qur’an menjadi sesuatu yang berat baginya. Lalu ia (iman itu) berdoa kepada
Rabbnya : “Ya Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan musuh-Mu dalam hati
(dada) yang sama.”
Akhirnya, ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya
jelek sebelum ia mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah
dia sembunyikan. Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya yang
semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang banyak bicara
dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepala, bahu, menghentakkan kakinya ke bumi,
mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan berputar-putar bagai keledai,
bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang merintih bagai orang yang
sangat berduka atau berteriak layaknya orang gila.
Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian
mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran, dan kebodohan.”
Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah
rasa rindu (asyik) terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala
kekejian, dan apabila ini terus berlanjut, akan menyebabkan Al Qur’an menjadi
berat di hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara
khusus.
Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan,
apalagi yang dikatakan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnul
Qayyim rahimahullah.
Adapun rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah
perbedaan atau perselisihan yang nyata antara lahir dan bathin. (Mawaridul Aman
halaman 322)
Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua
kemungkinan. Bisa jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-terangan
sehingga jadilah ia orang yang durhaka. Atau di samping bernyanyi, ia juga
menampakkan ibadahnya, akibatnya jadilah ia seorang yang munafik.
Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada
Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat,
kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu suara
alat-alat musik dan permainan-permainan lainnya, serta hal-hal yang diserukan
oleh nyanyian. Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu dan kosong atau sepi dari
rasa cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasul-nya. Inilah intinya
nifak.
Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah
keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq
(taat). Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil Qur’an,
sedangkan nifak sebaliknya. Ia merupakan perkataan yang bathil dan
amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’.
Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah,
malas dan enggan menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti
burung makan jagung, sangat minim dzikirnya kepada Allah. Perhatikan firman
Allah mengenai orang-orang munafik ini :
“Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam
keadaan malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat
Allah kecuali sedikit.” (QS. An Nisa’ : 142)
Akhirnya, dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka
yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat
mereka. Dan di samping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta dan al ghina’
adalah kedustaan yang paling tinggi. Di dalamnya, kejahatan menjadi sesuatu
yang menarik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih indah lagi dan
setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau, dan sangat jelek. Inilah
hakikat kemunafikan. Al ghina’ merusak dan mengotori hati, sehingga apabila
hati itu telah kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan gampang takluk
di bawah kekuasaan kemunafikan.
Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya mereka yang memiliki
bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut
dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan diri dengan dzikrullah,
nyatalah baginya betapa dalamnya pengetahuan dan pemahaman para shahabat
terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengobatannya.” (Demikian penjelasan
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman 322-323)
Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang
menginginkan hatinya hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap
Allah ta’ala.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
[1] Orang yang jika mengajarkan sesuatu mudah diterima dan
dipahami.
0 komentar:
Posting Komentar