Hukum Menikah Lewat Internet
Jumat, 11 Januari 2013
0
komentar
Akhir-akhir
ini banyak orang yang menanyakan hukum menikah lewat telpun atau internet,
apakah sah menutut pandangan Syariah ? Jika tidak sah, bagaimana solusinya bagi
orang-orang yang tempatnya saling berjauhan, sebagaimana yang terjadi pada diri
salah seorang TKW yang berkerja di Hongkong dengan masa kontrak 2 tahun,
kebetulan dia punya kenalan orang dari Solo, keduanya sudah saling mencintai
dan ingin segera melakukan akad pernikahan, sedang kondisi mereka berdua
tidak memungkinkan untuk saling bertemu dalam waktu secepatnya, apa yang harus
mereka kerjakan, menikah lewat telpun atau internet, atau bagaimana ?
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa proses pernikahan
dalam Islam mempunyai aturan- aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang
sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan
qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua
orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga
tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu, calon suami atau
wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus
hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan
akad pernikahan.
Maka
untuk menentukan hukumnya, paling tidak ada dua syarat sah nikah yang harus
dibahas terlebih dahulu :
Syarat
Pertama : calon mempelai laki-laki atau
yang mewakilinya dan wali perempuan atau yang mewakilinya harus berada dalam
satu majlis ketika dilangsungkan akad pernikahan.
Pertanyaannya
adalah apakah dua pihak yang berbicara melaui telpun atau internet untuk
melakukan transaksi dianggap dalam satu majlis, sehingga transaksi tersebut
menjadi sah ? Dalam hal ini, Majma’ al Fiqh telah menetapkan hukum
penggunakan ponsel, hp, dan internet di dalam melakukan transaksi, yang isinya
sebagai berikut : “ Jika transaksi antara kedua pihak berlangsung dalam satu
waktu, sedangkan mereka berdua berjauhan tempatnya, tetapi menggunakan
telpun, maka transaksi antara keduanya dianggap transaksi antara dua pihak yang
bertemu dalam satu majlis.” ( Majalah Majma’ al Fiqh al Islami, OKI, periode
ke – 6 ( no : 2/1256 )
Syarat
Kedua : pernikahan tersebut harus
disaksikan oleh dua orang atau lebih.
Pertanyaannya
adalah dua saksi pernikahan tersebut tidak bisa menyaksikan secara langsung
akad pernikahan tersebut, mereka berdua hanya bisa mendengar suara akad
pernikahan dari kedua belah pihak melalui telpun atau internet, apakah
persaksian keduanya telah dianggap sah atau tidak ?
Masalah
di atas mirip dengan masalah persaksian orang buta yang mendengar sebuah
transaksi antara dua belah pihak, apakah persaksian orang buta tersebut
sah ?
Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat
Pertama menyatakan bahwa persaksian orang
buta tersebut tidak bisa diterima. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Berkata
al Kasani : “ Persaksian orang buta tidak diterima dalam semua hal. Karena dia
tidak bisa membedakan antara kedua belah pihak. “ ( Badai’ Shonai’ 3/243 )
Berkata
Imam Syafi’I : “ Jika seseorang memberikan persaksian, sedangkan dia buta dan
mengatakan : saya menetapkannya, sebagaimana saya menetapkan segala sesuatu
dengan mengetahui suaranya atau dengan meraba, maka persaksian orang buta
tersebut tidak bisa diterima, karena suara mempunyai kemiripan satu dengan yang
lainnya, begitu juga rabaan mempunyai kemiripan antara satu dengan yang
lainnya “ ( Al Umm : 7/46 )
Pendapat
Kedua menyatakan bahwa persaksian orang buta bisa diterima selama dia menyakini
suara tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah.
Tersebut
di dalam buku al Mudawanah al Kubra ( 5/ 43 ) : “ Apakah dibolehkan
seorang buta memberikan persaksian di dalam masalah perceraian ? Berkata Imam
Malik : “ Iya, dibolehkan jika ia mengenali suara tersebut. Berkata Ibnu al
Qasim : Aku bertanya kepada Imam Malik: “ Seorang laki-laki mendengar
tetangganya dari balik tembok sementara dia tidak melihatnya, ia mendengar
tetangga tersebut mencerai istrinya, kemudian dia menjadi saksi atasnya berdasarkan
suara yang dia kenal ? Imam Malik menjawab : persaksiannya diperbolehkan.”
Di
dalam kitab Ad Dzakhirah ( 10/164 ) disebutkan : “ Kesaksian orang buta
terhadap pembicaraan diperkenankan ( dianggap sah ) “
Di
dalam kitab Mukhtashor al Khiraqi ( hlm : 145 ) disebutkan : “
Diperbolehkan persaksian orang buta jika dia yakin dengan suara tersebut “
Pendapat
kedua ini berdalil dengan beberapa hadist, diantaranya adalah :
1/Hadist
Abdullah bin Umar ra, bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda : “ Sesungguhnya
Bilal mengumandangkan adzan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sampai
terdengar adzan Ibnu Maktum “ ( HR Bukhari )
Hadist
di atas menunjukkan bahwa adzan Ibnu Maktum ( beliau adalah seorang yang buta )
merupakan persaksian darinya terhadap masuknya waktu sholat. Seandainya
persaksian orang buta tertolak, tentunya adzannya juga tidak sah. Begitu
juga yang mendengar adzan digolongkan orang yang buta, karena hanya mendengar
suara muadzin tanpa melihat secara langsung fisik dari muadzin tersebut, dan itupun
dianggap sah. ( Ibnu Abdul Barr, Tamhid : 10/61, An Nawawi, Syarh
Muslim : 7/202, Ibnu Hajar, Fathul Bari : 5/ 265)
2/
Dari Aisyah berkata : “ Pada suatu ketika Rasulullah saw sholat tahajud di
rumahku, dan beliau mendengar suara Ubad yang sedang sholat di masjid, beliau
bertanya “ Wahai Aisyah apakah itu suara Ubad?, saya menjawab : “ Benar“,
beliau langsung berdo’a : “ Ya Allah berilah kasih sayang kepada Ubad “ (
HR Bukhari )
Dua
hadist di atas menunjukkan secara kuat bahwa persaksian orang buta dibolehkan
dan dianggap sah di dalam ibadah dan mua’malah.
Jika
demikian halnya, bagaimana hukum persaksian dua orang di dalam akad pernikahan
lewat telpun maupun internet, apakah dianggap sah ?
Orang
yang menikah lewat telpun dan internet tidak lepas dari dua keadaan :
Keadaan
Pertama : Salah satu pihak yang melakukan
akad serta dua orang saksi tidak yakin dengan suara pihak kedua. Maka dalam hal
ini, pernikahan lewat telpun dan internet hukumnya tidak sah.
Inilah
yang diputuskan oleh Lajnah Daimah li al Ifta’ ketika ditanya masalah
tersebut, mereka memutuskan sebagai berikut :
“
Dengan pertimbangan bahwa pada hari-hari ini banyak penipuan dan manipulasi,
serta canggihnya orang untuk meniru pembicaraan dan suara orang lain, bahkan
diantara mereka ada yang bisa meniru suara sekelompok laki-laki dan perempuan
baik yang dewasa maupun yang masih anak-anak, dia meniru suara dan bahasa
mereka yang bermacam-macam sehingga bisa menyakinkan orang yang mendengar bahwa
yang bicara tersebut adalah orang banyak, padahal sebenarnya hanya satu orang.
Begitu
juga mempertimbangkan bahwa Syariat Islam sangat menjaga kemaluan dan
kehormatan, dan agar berhati-hati dalam masalah tersebut lebih dari masalah
lainnya seperti muamalah. Oleh karenanya, Lajnah memandang bahwa seharusnya
tidak menyandarkan secara penuh akad pernikahan ijab dan qabul serta
perwakilannya dengan menggunakan alat telpun, agar tujuan Syariat bisa
teralisir serta lebih menekankan kepada penjagaan terhadap kemaluan dan
kehormatan, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang jahat untuk
bermain-main dalam masalah ini dengan manipulasi dan penipuan. Wabillahi at
Taufiq. “
Keadaan
Kedua : kedua belah pihak yang melakukan
akad sangat mengenal suara antara satu dengan yang lain, begitu juga dua orang
saksi yakin bahwa itu suara dari pihak kedua yang melakukan akad. Pada kondisi
seperti ini, persaksian atas pernikahan tersebut dianggap sah, dan
pernikahannya sah juga. Khususnya dengan kemajuan teknologi sehingga seseorang
bisa bicara langsung dengan pihak kedua melalui gambar dan suara, sebagaimana
yang terdapat dalam teleconference.
Dalam
hal ini Syekh Bin Baz, mufti Negara Saudi ketika ditanya oleh seseorang yang
menikah lewat telpun dan mereka saling mengenal suara masing-masing pihak,
beliau menyatakan bahwa pernikahaannya sah.
Tetapi
walaupun demikian tidak dianjurkan bagi orang yang ingin menikah untuk
menggunakan alat teknologi seperti yang diterangkan di atas kecuali dalam
keadaan terpaksa dan darurat, hal itu untuk sifat kehati-hatian di dalam melakukan
pernikahan karena berhubungan dengan kehormatan seseorang. Wallahu A’lam.
Jakarta,
1 Shafar 1431/ 16 Januari 2010 M
0 komentar:
Posting Komentar