BIOGRAFI KHULAFAURRASYIDIN KHALIFAH
Selasa, 08 Januari 2013
1
komentar
(Ar.: khalifah = wakil,
pengganti atau duta).
Manusia (wakil, pengganti atau duta
Tuhan di muka bumi); pengganti Nabi Muhammad SAW dalam fungsinya sebagai kepala
negara. Al-Qur'an menyebut kata khalifah dalam dua ayat, yakni surah al-Baqarah
ayat 30 dan surah Sad ayat 26.
Dalam konsep Islam, manusia adalah
khalifah, yakni sebagai wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi. Dengan
kedudukannya sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, manusia akan dimintai
tanggung jawab di hadapan-Nya tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci
kekhalifahan itu. Oleh sebab itu dalam melaksanakan tanggung jawab itu manusia
dilengkapi dengan berbagai potensi, seperti akal pikiran yang akan memberikan
kemampuan bagi manusia berbuat demikian.
Dengan akal pikiran, manusia mempunyai
kemampuan mengolah dan memanfaatkan alam semesta ini untuk dirinya dan
bertanggung jawab di hadapan-Nya tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci
kekhalifahannya. Dengan konsepsi ini manusia diharapkan untuk senantiasa
memperhatikan amal perbuatannya sendiri sedemikian rupa, sehingga amal
perbuatan itu dapat dipertanggung-jawabkan di hadapan pengadilan Ilahi kelak.
Dengan demikian manusia sebagai makhluk moral selamanya dituntut untuk
mempertimbangkan kegiatan hidupnya dalam kriteria baik dan buruk.
Kata khalifah juga mengandung makna
pengganti Nabi Muhammad SAW dalam fungsinya sebagai kepala negara, yaitu pengganti
Nabi SAW dalam jabatan kepala pemerintahan dalam Islam, baik untuk urusan agama
maupun urusan dunia.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat
bahwa hukum mengangkat khalifah bagi umat Islam adalah wajib, yang jika
diabaikan maka semua umat Islam akan terkena dosanya. Sebaliknya, kalangan
Muktazilah dan Khawarij berpendapat bahwa pengangkatan khalifah tidak wajib,
baik menurut penilaian akal maupun menurut penilaian syarak (hukum Islam). Yang
wajib bagi mereka adalah menegakkan syarak. Kalau umat sudah berjalan di atas
keadilan dan hukum-hukum Allah SWT telah dilaksanakan, maka tidak perlu ada
imam atau khalifah dan begitu pula tidak wajib membentuknya.
Sebutan khalifah yang berarti pengganti
Nabi SAW dalam urusan agama dan dunia kemudian berkembang ke arah arti yang
lebih luas. Ini bermula dari Abu Bakar RA yang sebagai khalifah pertama
menyebut dirinya khalifat Rasul Allah (pengganti Rasulullah SAW).
Selanjutnya Umar bin Khattab, sebagai khalifah kedua, menyebut dirinya khalifat
khalifat Rasul Allah (pengganti dari pengganti Rasulullah SAW). Khalifah
ketiga, Usman bin Affan, karena sebutannya akan teramat panjang, cukup disebut
khalifah. Mulai sejak itu sebutan khalifah dipakai secara populer. Sebutan
tersebut terus berlaku sampai ke masa Ali bin Abi Talib.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah,
makna kata khalifah berkembang menjadi khalifat Allah (wakil Tuhan) di
muka bumi, bukan lagi dalam arti khalifat Rasul Allah (wakil Rasulullah
SAW). Kemudian pada masa Dinasti Abbasiyah, kata khalifah sudah mengandung
makna yang menggambarkan kedudukan yang kudus, yakni zill Allah fi al-ard (bayang-bayang
Allah SWT di permukaan bumi). Kata-kata tersebut mengandung arti bahwa khalifah
memperoleh kekuasaan dari Allah SWT sebagai pemegang kedaulatan mutlak.
Khalifah menjadi lambang kesatuan umat
Islam. Dunia Islam bersatu di bawah kepemimpinan khalifah. Di kalangan Suni,
khalifah disyaratkan berasal dari suku Kuraisy. Namun ketika etnis Kuraisy
tidak lagi dapat ditemukan, persyaratan itu menjadi hilang.
ABU BAKAR AS-SIDDIQ
(573-22 Jumadilakhir 13/23 Agustus
634).
Khalifah pertama dari al-Khulafa'
ar-Rdsyidun, sahabat Nabi SAW yang terdekat, dan termasuk di antara
orang-orang yang pertama masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun). Nama
lengkapnya adalah Abdullah bin Abi Kuhafah at-Tamimi. Pada masa kecilnya Abu
Bakar bernama Abdul Ka'bah. Nama ini diberikan kepadanya sebagai realisasi
nazar ibunya sewaktu mengandungnya. Kemudian nama itu ditukar oleh Nabi SAW
menjadi Abdullah. Gelar Abu Bakar diberikan Rasulullah SAW karena ia seorang
yang paling cepat masuk Islam, sedang gelar as-Siddiq yang berarti 'amat
membenarkan' adalah gelar yang diberikan kepadanya karena ia amat segera membenarkan
Rasulullah SAW dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa Isra Mikraj.
Ayahnya bernama Usman (juga disebut Abi
Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Sa'd bin Taim bin Murra bin Ka'ab bin Lu'ayy bin
Talib bin Fihr bin Nadr bin Malik. Ibunya bernama Ummu Khair Salma binti Sakhr
yang berasal dari keturunan Kuraisy. Garis keturunan ayah dan ibunya bertemu
pada neneknya yang bernama Ka'b bin Sa'd bin Taim bin Murra. Kedua orang-tuanya
berasal dari suku Taim, suku yang melahirkan banyak tokoh terhormat.
Sejak kecil ia dikenal sebagai anak
yangbaik dan sabar, jujur, dan lemah lembut. Sifat-sifat yang mulia itu membuat
ia disenangi dalam masyarakat. la menjadi sahabat Nabi SAW sejak keduanya masih
remaja. Setelah dewasa ia mencari nafkah dengan jalan berdagang. Sebagai
pedagang ia dikenal amat jujur, berhati suci, dan sangat dermawan.
Di samping itu, Abu Bakar dikenal mahir
dalam ilmu nasab (pengetahuan mengenai silsilah keturunan). la menguasai dengan
baik berbagai nasab kabilah dan suku-suku Arab, bahkan juga dapat mengetahui
ketinggian dan kerendahan derajat masing-masing dalam bangsa Arab, terlebih
lagi suku-suku Arab Kuraisy.
Abu Bakar masuk Islam pada hari-hari
pertama Islam didakwahkan. Tidak sulit baginya meyakini ajaran-ajaran yang
disampaikan Nabi SAW karena sejak muda ia sudah kenal betul akan keagungan Nabi
Muhammad SAW. Setelah masuk Islam, ia menumpahkan seluruh perhatiannya untuk
pengembangan Islam. la merupakan sahabat yang paling banyak mendermakan harta
bendanya bagi kepentingan dakwah Islam. Sebagai seorang yang disegani di
kalangan bangsawan Arab, keislaman Abu Bakar membuat banyak orang Arab Kuraisy
tertarik masuk Islam, seperti Usman bin Affan, Abdur Rahman bin Auf, dan Zubair
bin Awwam.
Di antara Abu Bakar dan Nabi SAW
terjalin hubungan persahabatan yang sangat erat karena selain diikat oleh tali
persaudaraan seiman, juga karena salah seorang putri Abu Bakar, Aisyah RA,
menjadi istri Nabi SAW. Dengan kata lain Nabi SAW adalah menantu Abu Bakar.
Banyak peristiwa yang menggambarkan
betapa kecintaan Abu Bakar kepada Nabi SAW. Setiap kali Abu Bakar melihat Nabi
SAW diganggu dan disakiti oleh orang-orang kafir Kuraisy, ia selalu tampil
membela Nabi SAW. Dalam suatu riwayat diceriterakan bahwa Nabi SAW sedang
khusyuk melakukan salat di Masjidilharam, tiba-tiba datanglah Uqbah bin al-Muit
dan langsung mencekik Nabi SAW yang sedang sujud. Hampir saja Nabi SAW berada
dalam bahaya kalau tidak ada Abu Bakar yang datang menolongnya. Peristiwa lain
adalah kesetiaannya mendampingi Nabi SAW dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke
Madinah, suatu perjalanan yang penuh dengan risiko.
Perjuangan Abu Bakar dan darmabaktinya
bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam banyak yang dapat disebutkan. Di
antaranya, ia sangat menaruh perhatian kepada penderitaan kaum lemah, khususnya
para budak yang menerima dakwah Nabi SAW. Sejumlah budak yang disiksa oleh
tuannya karena mereka memeluk Islam ditebus oleh Abu Bakar dengan hartanya
untuk kemudian dimerdekakan. Salah satu dari budak-budak itu adalah Bilal bin
Rabah.
Dalam setiap pertempuran yang terjadi
pada masa Nabi SAW, Abu Bakar tidak pernah absen, melainkan selalu berada dekat
Nabi SAW. Dalam peperangan Tabuk bukan hanya jiwa yang dipertaruhkannya, tetapi
juga seluruh harta bendanya habis dikorbankan untuk memenangkan perjuangan
Islam.
Ketika kota Mekah berhasil ditundukkan,
umat Islam bersiap-siap menunaikan ibadah haji tahun berikutnya. Karena
kesibukan di Madinah, Nabi SAW tidak dapat memimpin jemaah haji, sebagai
wakilnya beliau menunjuk Abu Bakar. Dalam banyak kesempatan Abu Bakar sering
dipercayakan Nabi SAW untuk mewakili dirinya. Rasulullah SAW telah memberikan
kedudukan yang tinggi kepada Abu Bakar, bahkan lebih tinggi daripada sekian
banyak sahabat yang lain. Ini terbukti pada saat Rasulullah SAW uzur
(berhalangan), tidak dapat mengimami salat di Masjid Madinah, Nabi SAW menunjuk
Abu Bakar untuk menggantikannya sebagai imam salat.
Abu Bakar juga berhasil membina
putra-putrinya menjadi penganut Islam yang rela berkorban untuk kepentingan
Islam. Di antaranya yang terkenal dalam sejarah adalah kedua putrinya, Aisyah
RA dan Asma, sedang putranya adalah Abdur Rahman dan Abdullah.
Setelah Rasulullah SAW wafat tahun 632,
Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pengganti Rasulullah SAW dalam
memimpin negara dan umat Islam. Waktu itu, daerah kekuasaan Islam hampir
mencakup seluruh Semenanjung Arabia yang terdiri atas berbagai suku Arab. Ada
dua faktor utama yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, yaitu:
1) menurut pendapat umum yang ada pada zaman itu, seorang khalifah (pemimpin)
haruslah berasal dari suku Kuraisy; pendapat ini didasarkan pada hadis yang
berbunyi al-a'immah mm Quraisy (kepemimpinan itu di tangan orang
Kuraisy); 2) sahabat sependapat tentang ketokohan pribadi Abu Bakar sebagai
khalifah karena beberapa keutamaan yang dimilikinya, antara lain ia adalah
laki-laki dewasa pertama yang memeluk Islam, ia satu-satunya sahabat yang
menemani Nabi SAW pada saat hijrah dari Mekah ke Madinah dan ketika bersembunyi
di Gua Sur, ia yang ditunjuk Rasulullah SAW untuk mengimami salat pada saat
beliau sedang uzur, dan ia keturunan bangsawan, cerdas, dan berakhlak mulia.
Sebagai khalifah, Abu Bakar mengalami dua kali dibaiat. Pertama di Saqifah Bani
Sa'idah yang dikenal dengan bai'ah khassah dan kedua di Masjid Nabi
(Masjid Nabawi) di Madinah yang dikenal dengan bai'ah 'ammah.
Seusai acara pembaiatan di Masjid Nabi
di Madinah, Abu Bakar sebagai khalifah yang baru terpilih berdiri dan
mengucapkan pidato. la memulai pidatonya dengan menyatakan sumpah kepada Allah
SWT dan menyatakan ketidakberambisiannya untuk menduduki jabatan khalifah tersebut.
Abu Bakar selanjutnya mengucapkan, "Saya telah terpilih menjadi pemimpin
kamu sekalian meskipun saya bukan orang yang terbaik di antara kalian. Karena
itu, bantulah saya seandainya saya berada di jalan yang benar dan bimbinglah
saya seandainya saya berbuat salah. Kebenaran adalah kepercayaan dan kebohongan
adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian akan menjadi kuat dalam
pandangan saya hingga saya menjamin hak-haknya seandainya Allah menghendaki dan
orang yang kuat di antara kalian adalah lemah dalam pandangan saya sehingga
saya dapat merebut hak daripadanya. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, dan bila saya mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, janganlah ikuti
saya."
Masa awal pemerintahan Abu Bakar
diwarnai dengan berbagai kekacauan dan pemberontakan, seperti munculnya
orang-orang murtad, aktifnya orang-orang yang mengaku diri nabi, pemberontakan
dari beberapa kabilah Arab dan banyaknya orang-orang yang ingkar membayar
zakat. Munculnya orang-orang murtad disebabkan oleh keyakinan mereka terhadap
ajaran Islam belum begitu mantap, dan wafatnya Rasulullah SAW menggoyahkan
keimanan mereka. Tentang orang-orang yang mengaku diri nabi sebenarnya telah
ada sejak masa Rasulullah SAW, tetapi kewibawaan Rasulullah SAW menggetarkan
hati mereka untuk melancarkan aktivitasnya. Mereka mengira bahwa Abu Bakar
adalah pemimpin yang lemah sehingga mereka berani membuat kekacauan.
Pemberontakan kabilah disebabkan oleh anggapan mereka bahwa perjanjian
perdamaian yang dibuat bersama Nabi SAW bersifat pribadi dan berakhir dengan
wafatnya Nabi SAW sehingga mereka tidak perlu lagi taat dan tunduk kepada
penguasa Islam yang baru. Orang-orang yang ingkar membayar zakat hanyalah
karena kelemahan iman mereka. Terhadap semua golongan yang membangkang dan
memberontak itu Abu Bakar mengambil tindakan tegas. Ketegasan ini didukung oleh
mayoritas umat. Untuk menumpas seluruh pemberontakan, ia membentuk sebelas
pasukan, masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh, seperti
Khalid bin Walid, Amr bin As, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Syurahbil bin Hasanah.
Dalam waktu singkat seluruh kekacauan dan pemberontakan yang terjadi dalam
negeri dapat ditumpas dengan sukses.
Meskipun fase permulaan dari
kekhalifahan Abu Bakar penuh dengan kekacauan, ia tetap berkeras melanjutkan
rencana Rasulullah SAW untuk mengirim pasukan ke daerah Suriah di bawah
pimpinan Usamah bin Zaid. Pada mulanya, keinginan Abu Bakar ditentang oleh
sahabat dengan alasan suasana dalam negeri sangat memprihatinkan akibat berbagai
kerusuhan yang timbul. Akan tetapi, setelah ia meyakinkan mereka bahwa itu
adalah rencana Rasulullah SAW, akhirnya pengiriman pasukan itu pun disetujui.
Langkah politik yang ditempuh Abu Bakar
itu ternyata sangat strategis dan membawa dampak yang sangat positif.
Pengiriman pasukan pada saat negara dalam keadaan kacau menimbulkan
interpretasi di pihak lawan bahwa kekuatan Islam cukup tangguh sehingga para
pemberontak menjadi gentar. Di samping itu, langkah ini juga merupakan taktik
untuk mengalihkan perhatian umat Islam dari perselisihan yang bersifat intern.
Pasukan Usamah berhasil menunaikan tugasnya dengan gemilang dan kembali dengan
membawa harta rampasan perang yang berlimpah.
Sebagai usaha berikutnya, ia melakukan
perluasan wilayah Islam ke luar Jazirah Arab. Daerah yang dituju adalah Irak
dan Suriah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Abu Bakar
berpendapat bahwa daerah itu harus ditak-lukkan untuk memantapkan keamanan
wilayah Islam dari serbuan dua adikuasa, Persia dan Bizantium. Ekspansi ke Irak
dipimpin panglima Khalid bin Walid, ke Suriah dipimpin oleh tiga panglima,
yaitu Amr bin As, Yazid bin Abu Sufyan, dan Syurahbil bin Hasanah. Pasukan
Khalid dapat menguasai al-Hirah pada tahun 634. Akan tetapi, tentara Islam yang
menuju Suriah, kecuali pasukan Amr bin As, mengalami kesulitan karena pihak
lawan, yaitu tentara Bizantium, mempunyai kekuatan yangjauh lebih besar dan
perlengkapan perangnya jauh lebih sempurna. Untuk membantu pasukan Islam di
Suriah, Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid segera meninggalkan Irak
menuju Suriah dan kepadanya diserahi tugas memimpin seluruh pasukan. Khalid
mematuhi perintah AbuBakar dan berhasil memenangkan pertempuran. Kemenangan itu
tidak dapat disaksikan oleh khalifah karena ketika peperangan sedang
berkecamuk, Abu Bakar jatuh sakit dan tidak berapa lama kemudian meninggal.
Selain usaha memperluas wilayah ke luar
Semenanjung Arabia, Khalifah Abu Bakar juga melakukan pengumpulan ayat-ayat
Al-Qur'an yang selama ini berserakan di berbagai tempat. Usaha ini dilakukan
atas saran Umar bin Khattab. Pada mulanya ia agak berat melaksanakan tugas ini
karena belum pernah dilakukan pada masa Nabi SAW. Akan tetapi, Umar
mengemukakan alasan banyaknya sahabat penghafal Al-Qur'an yang gugur di medan
pertempuran dan dikhawatirkan akan habis seluruhnya. Abu Bakar pun dapat
menyetujuinya. Selanjutnya ia menugaskan kepada Zaid bin Sabit, penulis wahyu
pada masa Rasulullah SAW, untuk mengerjakan tugas pengumpulan itu.
Dalam nienjalankan tugasnya sebagai
kepala negara dan pemimpin umat Islam, Abu Bakar senantiasa meneladani perilaku
Rasulullah SAW. Prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan, seperti yang
dijalankan Nabi SAW, selalu dipraktekkannya. Ia sangat memperhatikan keadaan
rakyatnya dan tidak segan-segan membantu mereka yang kesulitan. Terhadap sesama
sahabat, perhatiannya juga sangat besar. Sahabat yang telah menduduki suatu
jabatan pada masa Nabi SAW tetap dibiarkan pada jabatannya, sedangkan sahabat
lain yang belum mendapatkan jabatan dalam pemerintahan juga diangkat
berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Untuk meningkatkan kesejahteraan umum,
Abu Bakar membentuk lembaga Bait al-Mal, semacam kas negara atau lembaga
keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu Ubaidah, sahabat Nabi yang
digelari amin al-'ummah (kepercayaan umat). Selain itu didirikan pula
lembaga peradilan yang ketuanya dipercayakan kepada Umar bin Khattab.
Kebijaksanaan lain yang ditempuh Abu Bakar adalah membagi sama rata hasil
rampasan perang (ganimah). Dalam hal ini, ia berbeda pendapat dengan
Umar bin Khattab yang menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa
tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu Bakar adalah semua perjuangan
yang dilakukan atas nama Islam akan mendapat balasan pahala dari Allah SWT di
akhirat. Karena itu, biarlah di dunia mereka mendapat bagian yang sama.
Persoalan besar yang sempat
diselesaikan Abu Bakar sebelum wafat adalah menetapkan calon khalifah yang akan
menggantikannya. Dengan demikian, ia telah mempersempit peluang bagi timbulnya
pertikaian di antara umat Islam mengenai jabatan khalifah. Dalam menetapkan
calon penggantinya, Abu Bakar tidak memilih anak atau kerabatnya yang terdekat,
melainkan memilih orang lain yang secara obyektif dinilai mampu mengemban
amanah dan tugas sebagai khalifah, yaitu sahabat Umar bin Khattab. Pilihan itu
tidak segera diputuskannya sendiri, tetapi dimusyawarahkannya terlebih dahulu
dengan sahabat-sahabat besar. Setelah disepakati, barulah ia mengumumkan calon
khalifah itu.
Abu Bakar dengan masa pemerintahannya
yang amat singkat (kurang lebih dua tahun) telah berhasil mengatasi
tantangan-tantangan dalam negeri Madinah yang baru tumbuh itu, dan juga
menyiapkan jalan bagi perkembangan dan perluasan Islam di luar Semenanjung
Arabia.
UMAR BIN KHATTAB
(581 M-26 Zulhijah 23/3 Nov 644).
Sahabat Nabi SAW terdekat dan khalifah
kedua al-Khulafa' ar-Rasyidun. Ayahnya bernama Khattab bin Nufail
al-Mahzumi al-Qurajsyi dari suku Adi. Ibunya bernama Hantamah binti Hasyim.
Suku Adi terpandang mulia dan mempunyai martabat tinggi di kalangan Arab. Suku
ini masih termasuk rumpun Kuraisy.
Umar mempunyai postur tubuh yang
tegap dan kuat, wataknya keras, berani, dan berdisiplin tinggi. Pada masa
remajanya, dia dikenal sebagai pegulat perkasa dan sering menampilkan
kemampuannya itu dalam pesta tahunari pasar Ukaz di Mekah. la memiliki
kecerdasan yang luar biasa, mampu memprakirakan hal-hal yang akan terjadi pada
masa yang akan datang. Tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih.
Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu mengantarkannya terpilih menjadi wakil
kabilahnya. la selalu diberi kepercayaan sebagai utusan mewakili kabilah
Kuraisy dalam melakukan perundingan-perundingan dengan suku-suku lain.
Keunggulannya berdiplomasi membuatnya populer di kalangan berbagai suku Arab.
Nabi SAW mengakui keunggulan-keunggulan
yang dimiliki Umar, pemuda yang gagah berani, tidak mengenai takut dan gentar,
dan mempunyai ketabahan dan kemauan keras. Oleh karena itu, untuk kepentingan
perjuangan Islam, Nabi SAW pernah berkata, "Ya Allah, kuatkanlah Islam
dengan salah seorang dari Amr bin Hisyam atau Umar bin Khattab." Doa Nabi
SAW diperkenankan Allah SWT dengan Islamnya Umar sekitar tahun 616.
Sebelumnya, Umar dikenal sebagai salah
seorang tokoh Arab Kuraisy yang paling gigih menentang seruan Nabi SAW. Ketika
disampaikan kepadanya bahwa adiknya, Fatimah, beserta suaminya telah memeluk
Islam, ia mendadak menjadi geram dan sangat murka. Tanpa menunggu lebih lama ia
segera pergi ke rumah adiknya. Sesampainya di sana, ia mendapati adik, ipar,
dan beberapa orang muslim sedang mempelajari Al-Qur'an. Begitu melihat Umar,
mereka semua lalu terdiam membisu dan tidak berani bergerak sedikit pun. Dengan
emosi yang meluap-luap Umar menampar adiknya. Suaminya pun tak terelakkan dari
pukulan Umar. Di puncak kemarahannya, mata Umar menangkap sebuah lembaran yang
bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan
hatinya menjadi ciut. Dengan tangan bergetar dipungutnya lembaran itu, lalu
dibacanya ayat-ayat Al-Qur'an yang tertera di situ. Menurut sebagian riwayat,
yang tertera dalam lembaran itu adalah beberapa ayat dari permulaan surah Taha.
Setelah membaca ayat-ayat itu, perasaannya menjadi tenang, dan rasa damai
menyelinap di hatinya. Timbul keinginan kuat untuk segera menemui Rasul SAW. la
pun segera meninggalkan rumah adiknya menuju rumah al-Arqam di mana Nabi SAW
sedang menyampaikan dakwah secara sembunyi-sembunyi.
Sesampainya di rumah al-Arqam, Umar
segera mengetuk pintu. Mengetahui yang datang adalah Umar, sahabat-sahabat yang
sedang bersama Nabi SAW menjadi gentar dan ketakutan, kecuali Hamzah bin Abdul
Muttalib, paman Nabi SAW yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani. Nabi
SAW menyuruh membuka pintu dan mempersilakan Umar masuk. Melihat sikap Nabi SAW
yang sangat lembut dan bijaksana, Umar merasa kecil di hadapannya. Sambil
menggenggam leher baju Umar, Nabi SAW berkata dengan suara keras,
"Islamlah engkau, wahai Ibnu Khattab!" Umar pun lalu mengucapkan dua
kalimat syahadat, sebagai tanda ia telah masuk Islam.
Masuk Islamnya Umar segera diikuti oleh
putra sulungnya, Abdullah, dan isterinya, Zainab binti Maz'un. Selain itu,
keislaman Umar membuka jalan bagi tokoh-tokoh Arab lainnya masuk Islam. Sejak
saat itu, berbondong-bondonglah orang masuk Islam sehingga dalam waktu singkat
pengikut Islam bertambah dengan pesatnya.
Umar telah membawa cahaya terang dalam
permulaan perjuangan Islam. Dakwah Islam, yang semula dijalankan secara
rahasia dan sembunyi-sembunyi, kini disiarkan secara terang-terangan. Umar
menjadi pembela dan pelindung umat Islam dari segala gangguan. Ibnu Asir
mengungkapkan bahwa Abdullah bin Mas'ud berkata, "Islamnya Umar adalah
suatu kemenangan, hijrahnya adalah suatu pertolongan, dan pemerintahannya
adalah rahmat. Semula, umat Islam tidak berani mengerjakan salat dengan
terang-terangan, takut dianiaya oleh kafir Kuraisy, tetapi setelah itu mereka
dapat beribadah dengan leluasa tanpa merasa tertekan." Umar telah
menunjukkan kesetiaan dan pengabdiannya tanpa pamrih demi kejayaan Islam,
seolah-olah ia hendak menebus segala kesalahan dan dosa yang diperbuatnya pada
masa jahiliah.
Setelah Islam, Umar menjadi salah
seorang sahabat Nabi SAW terdekat. Begitu dekatnya, sampai Nabi SAW pernah
berkata, "Andaikata masih ada nabi sesudahku, Umarlah orangnya." la
juga digelari oleh Nabi SAW dengan al-Faruq, artinya pembeda/pemisah.
Maksudnya, Allah telah memisahkan dalam dirinya antara yang hak dan yang batil.
Hanya Umar yang begitu berani mengemukakan pikiran-pikiran dan pendapatnya di
hadapan Nabi SAW, bahkan ia juga tidak segan menyampaikan kritik untuk
kebaikan dan kemaslahatan umat Islam. Diriwayatkan, pada suatu ketika ia bersama
Nabi SAW berada di dekat Ka'bah, Nabi SAW lalu menunjukkan kepadanya makam Ibrahim.
Seketika Umar bertanya apakah di situ boleh dilakukan salat? Nabi SAW menjawab
bahwa hal itu belum diperintahkan. Lalu hari itu juga turun wahyu yang
membolehkan salat di makam Ibrahim itu. Pada saat lain Umar mengusulkan kepada
Nabi SAW agar memerintahkan isteri-isterinya menggunakan hijab (tirai),
maksudnya agar berbicara dengan tamu-tamunya dari belakang hijdb sebab menurut
Umar, yang berbicara dengan mereka bukan semuanya orang baik-baik melainkan ada
juga orang jahat. Tidak lama kemudian turunlah ayat tentang hijab yang
membenarkan pendapat Umar itu.
Umar juga banyak menengahi perselisihan
yang terjadi di kalangan isteri-isteri Nabi SAW. Pandangan yang jauh ke depan,
keluwesan, dan keadilannya membuat orang senang menerima pendapatnya. Hal ini
juga terlihat ketika Rasulullah SAW wafat dan timbul perselisihan antara kaum
Ansar dan Muhajirin di Saqifah mengenai pengganti Rasulullah SAW. Umar dengan
tangkasnya melerai perselisihan.
Ketegasan dan keberanian Umar merupakan
kekuatan besar dalam upaya mengembangkan Islam selanjutnya sehingga bukan hanya
Nabi SAW yang menaruh simpati dan kepercayaan yang besar kepadanya, melainkan
juga para sahabat, khususnya Abu Bakar. Pada masa pemerintahannya, Umar selalu
diangkat sebagai penasihat sekaligus hakim dalam menangani
permasalahan-permasalahan hukum yang timbul ketika itu. Kemampuan Umar dalam
memecahkan berbagai problema hukum yang dihadapkan kepadanya meyakinkan Abu
Bakar untuk mengangkatnya sebagai khalifah kelak.
Umar adalah orang pertama yang
mencetuskan ide tentang perlunya dilakukan pengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an.
Ketika itu ayat-ayat Al-Qur'an tersebar di berbagai lempengan batu, pelepah
kurma, tulang-belulang, dan sebagainya. Tempatnya pun berserakan di tangan para
sahabat, tidak terkumpul dalam satu tempat. Pada masa Nabi SAW cukup banyak
sahabat yang menghafal Al-Qur'an seluruhnya sehingga mengumpulkan
tulisan-tulisan Al-Qur'an belum dirasa perlu. Akan tetapi, pada masa Khalifah
Abu Bakar terjadi banyak peperangan yang di dalamnya gugur banyak sahabat
penghafal Al-Qur'an. Dalam Perang Yamamah saja 70 orang penghafal Al-Qur'an
yang gugur. Oleh karena itu, Umar khawatir para penghafal Al-Qur'an akan habis.
Dengan alasan itu, ia mengusulkan kepada Abu Bakar agar segera dikumpulkan
semua tulisan ayat-ayat Al-Qur'an. Pada mulanya Abu Bakar keberatan menerima usul
Umar karena Nabi SAW tidak pernah melakukan hal serupa, namun atas desakan Umar
usul itu pun disetujuinya. Abu Bakar lalu mempercayakan tugas pengumpulan itu
kepada Zaid bin Sabit, penulis wahyu pada masa Rasulullah SAW.
Sebelum wafat, Abu Bakar memanggil
beberapa orang sahabat besar untuk dimintai pendapatnya tentang rencana
penunjukan khalifah yang akan menggantikannya. Umar merupakan calon tunggal Abu
Bakar dan para sahabat dapat menyetujui pilihan Abu Bakar. Demikianlah tercatat
dalam sejarah, pada tahun 13 H/634 M Umar dibaiat menjadi khalifah menggantikan
Abu Bakar. Dialah khalifah pertama dan satu-satunya yang mendapat gelar
Amirulmukminin (Panglima Orang-Orang Beriman).
Sebagai khalifah, Umar dikenal sangat
adil dalam menjalankan pemerintahannya. la tidak membedakan antara tuan dan
budak, kaya dan miskin, dan penguasa dan rakyat jelata. Semua mendapat
perlakuan yang sama. Yang salah dihukum dan yang benar dibelanya. Banyak
didapati riwayat yang disampaikan Anas bin Malik, bahwa suatu ketika ia sedang
duduk bersama Umar. Lalu datang seorang penduduk Mesir mengadukan perihal
kezaliman Amr bin As, gubernur Mesir. Dengan serta merta Umar mengirim surat
kepada Amr bin As agar segera menghadap Umar di Madinah. Setelah Amr datang, ia
pun diadili dan ternyata bersalah. Umar lalu menyuruh penduduk yang teraniaya
itu membalas sesuai dengan perlakuan yang diterimanya.
Meskipun telah menjadi khalifah, Umar
tetap dekat dengan rakyatnya. Diceritakan bahwa setiap malam ia pergi
berkeliling mengamati keadaan rakyatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada di antara
mereka yang mengalami kesulitan seperti sakit atau kelaparan. Bila ditemukan,
ia tidak segan memberikan bantuan langsung, bahkan sering dijumpai Umar
mengangkat sendiri bahan makanan untuk orang-orang yang memerlukannya.
Umar juga sangat takut mengambil harta
kaum muslimin tanpa alasan yang kuat. la berpakaian sangat sederhana, bahkan
tidak pantas untuk dipakai oleh seorang pembesar seperti dia. Umar meneladani
perilaku Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupannya. Prinsip hidup
sederhana juga diterapkan Umar di lingkungan keluarganya. Istri dan
anak-anaknya dilarang menerima pemberian dalam bentuk apa pun dari para
pembesar maupun dari rakyatnya.
Di bidang pemerintahan, langkah pertama
yang dilakukan Umar sebagai khalifah adalah meneruskan kebijaksanaan yang telah
ditempuh Abu Bakar dalam perluasan wilayah Islam ke luar Semenanjung Arabia.
Pada masanya terjadi ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran sehingga
periode ini lebih dikenal dengan nama periode Futuhat al-Islamiyyah
(perluasan wilayah Islam). Berturut-turut pasukan Islam berhasil menduduki
Suriah, Irak, Mesir, Palestina, dan Persia.
Di bidang administrasi pemerintahan,
Umar berjasa membentuk Majelis Permusyawaratan, Anggota Dewan, dan memisahkan
lembaga pengadilan. la juga membagi wilayah Islam ke dalam 8 propinsi yang
membawahi beberapa distrik dan subdistrik. Kedelapan propinsi itu adalah Mekah,
Madinah, Suriah, Jazirah, Kufah, Basra, Mesir, dan Palestina. Untuk
masing-masing distrik itu, diangkat pegawai khusus selaku gubernur. Gaji mereka
ditertibkan. Selain itu, administrasi perpajakan juga dibenahi.
Untuk kepentingan pertahanan, keamanan,
dan ketertiban dalam masyarakt, didirikanlah lembaga kepolisian, korps militer
dengan tentara terdaftar. Mereka digaji yang besarnya berbeda-beda sesuai
dengan tugasnya. Dia juga mendirikan pos-pos militer di tempat-tempat
strategis.
Umar melakukan pembenahan peradilan
Islam. Dialah yang mula-mula meletakkan prinsip-prinsip peradilan dengan
menyusun sebuah risalah yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa al-Asy'ari.
Risalah itu disebut Dustur 'Umar atau Risalah al-Qada'.
Dalam upaya meningkatkan mekanisme
pemerintahan di daerah, Umar melengkapi gubernurnya dengan beberapa staf yang
terdiri dari katib (sekretaris kepala), katib ad-Diwan
(sekretaris pada sekretariat militer), sahib al-kharaj (pejabat perpajakan),
sahib al-ahdas (pejabat kepolisian), .sahib bait al-mal (pejabat
keuangan), dan qadi (hakim dan pejabat jawatan keagamaan). Selain itu,
ada staf yang langsung dikirim dari pusat.
Kebijaksanaan lain yang dilakukan Umar
adalah mendaftar seluruh kekayaan pejabat yang akan dilantik. Ini ditempuh
untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang dan tindakan korupsi.
Di kalangan fukaha (ahli fikih) ia
dikenal sebagai sahabat yang berani melakukan ijtihad. Meskipun demikian, ia
tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip musyawarah. Ijtihadnya mencakup
berbagai masalah kehidupan, baik dalam bidang ibadah maupun bidang-bidang
kemasyarakatan lainnya. Dalam bidang peribadatan, antara lain pendapatnya
mengenai empat takbir dalam salat jenazah, penyelenggaraan salat tarawih
berjemaah, penambahan kalimat as-salat khaiun mim an-naum (salat
lebih baik dari tidur) dalam azan subuh. Dalam bidang kesejahteraan umat, di
antara gagasannya adalah pemberian gaji bagi para imam dan muazin (tukang
azan), pengadaan lampu penerangan dalam masjid-masjid, pengorganisasian
khotbah-khotbah, pendirian baitulmal, penghapusan pembagian tanah rampasan
perang (fay'), pembangunan terusan dan kota-kota seperti Basra, Kufah,
Fustat, dan Mosul, dan pembangunan sekolah-sekolah.
Dalam bidang hukum ijtihadnya adalah
mengenai pembagian harta warisan, perumusan prinsip kias, talak tiga,
pendirian pengadilan-pengadilan, pengangkatan para hakim, pemakaian cambuk dalam
melaksanakan hukum badan, penetapan hukuman 80 kali dera bagi pemabuk,
pemungutan zakat atas kuda yang diperdagangkan, dan larangan penyebutan
nama-nama wanita dalam lirik syair. Penentuan kalender hijriah juga merupakan
hasil ijtihad Umar yang diabadikan sampai sekarang.
Umar adalah profil seorang pemimpin
yang sukses, mujtahid (ahli ijtihad) yang ulung, dan sahabat Rasulullah SAW
yang sejati. Kesuksesannya dalam mengibarkan panji-panji Islam mengundang rasa
iri dan dengki di hati musuh-musuhnya. Salah seorang musuhnya, Abu Lu'lu'ah,
telah mengakhiri hidupnya dengan cara yang amat tragis. la menikam Umar tatkala
sedang bersiap-siap memulai salat subuh. Peristiwa ini mengakibatkan
kematiannya. la wafat dalam usia 63 tahun setelah kurang lebih 10 tahun
menggenggam amanat sebagai khaIifah.
USMAN BIN AFFAN
(Mekah, 576-Madinah, I
656).
Khalifah ketiga (memerintah 644-656)
dan sahabat yang sangat berjasa pada periode-periode awal pengembangan Islam,
baik pada saat Islam dikembangkan secara sembunyi-sembunyi maupun secara
terbuka. la dijuluki juga dengan Zu an-Nurain (Memiliki Dua Cahaya) karena ia
menikah dengan dua orang putri Nabi Muhammad SAW yang bernama Ruqayyah dan Ummu
Kalsum.
Sebelum masuk Islam, Usman bin Affan
dikenal sebagai pedagang besar dan terpandang. Kekayaannya berlimpah ruah. la
memeluk Islam atas ajakan Abu Bakar as-Siddiq. Setelah memeluk Islam, dengan
penuh kerelaan ia menyerahkan sebagian besar hartanya bagi kepentingan
perjuangan Islam. Budak yang teraniaya oleh tangan kafir Kuraisy ditebusnya
dengan hartanya. Pada saat terjadi Perang Tabuk melawan Kerajaan Byzantium,
Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan dan panglima pasukan merasa
kekurangan dana dan makanan untuk mempertahankan diri dari serangan pasukan
musuh. Masalah ini dikemukakan oleh Muhammad SAW ke hadapan para sahabatnya.
Hal itu ditanggapi secara serius oleh para sahabat. Abu Bakar as-Siddiq
menyumbangkan hartanya sejumlah 4.000 dinar, Umar bin Khattab menyumbangkan
setengah hartanya, sementara Usman bin Affan menanggung sepertiga pembiayaan
dan dana perang.
Pengangkatan Usman bin Affan menjadi
khalifah berlangsung secara baik setelah diadakan musyawarah di antara para
sahabat di rumah Abdurrahman bin Auf. Pelantikannya dilangsungkan pada
hari ketiga setelah wafatnya Umar bin Khattab.
Pemerintahan Usman bin Affan
berlangsung dalam dua periode, yaitu periode 6 tahun pertama dan periode 6
tahun kedua. Periode 6 tahun pertama ditandai oleh berbagai keberhasilan dan
kejayaan, sedangkan periode 6 tahun kedua ditandai oleh perpecahan yang
tergambar dalam berbagai pergolakan dan pemberontakan dalam negeri.
Perjalanan roda pemerintahan
tahun-tahun pertama dilaksanakan oleh Usman bin Affan sesuai dengan
kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh pendahulunya. Suatu pesan yang
disampaikan Umar bin Khattab kepada Usman adalah bahwa wali-wali (gubernur)
yang diangkat oleh Umar selama jangka waktu setahun jangan dimutasikan. Pesan
ini didasarkan atas kekhawatiran akan terjadinya kegoncangan dan gangguan
stabilitas keamanan dan ketenteraman bagi Khalifah sendiri.
Berdasarkan pertimbangan yang matang
terhadap pesan Umar bin Khattab, Usman tetap mengukuhkan gubernur untuk wilayah
Mesir, Syam (Suriah), dan Irak yang di dalamnya termasuk daerah-daerah
Azerbaijan, Armenia dan beberapa daerah lain yang berpusat di kota Kufah, dan
Iran yang di dalamnya tercakup daerah Khurasan dengan Basra sebagai pusat
pemerintahannya. Gubernur-gubernur itu adalah Amr bin As, Mu'awiyah bin Abu
Sufyan, dan Abu Musa al-Asyari.
Setelah satu tahun berlalu, pesan yang
disampaikan Umar bin Khattab dipatuhi dan dilaksanakan oleh Khalifah Usman.
Selanjutnya ia pun mengubah kebijaksanaannya dengan memutasikan hampir semua
pejabat yang telah dikukuhkan sebelumnya. Adapun pejabat baru yang diangkat
untuk menggantikan pejabat lama, kecuali yang tersebut di atas, berasal dari
kaum keluarganya, Bani Umayyah. Kebijaksanaan itu mengantarkan Usman bin Affan
ke suatu posisi yang tidak menguntungkan, baik bagi dirinya maupun bagi
kepentingan pemerintahan Islam.
Pengangkatan beberapa pejabat yang
berasal dari kaum keluarganya telah menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat
di beberapa wilayah. Reaksi tersebut tak dapat dibendung Khalifah dan pemerintahan
pusat di Madinah. Satu hal yang belum pernah terjadi pada masa dua khalifah
sebelumnya adalah bahwa Usman bin Affan lebih banyak dipengaruhi oleh kaum
keluarganya, khususnya Marwan bin Hakam yang diangkatnya sebagai sekretaris
negara.
Sejak Usman bin Affan diangkat menjadi
khalifah, banyak pula permasalahan kebijaksanaan perbendaharaan negara yang
muncul. Menurut Usman, khalifah mempunyai wewenang menggunakan kekayaan umum
untuk sesuatu yang dipandang sebagai kemaslahatan umat. Selama memangku
jabatan, khalifah berhak mengurus kepentingan umum kaum muslimin. Karena itu, khalifah
menggunakan kekayaan negara bagi pemenuhan kepentingan kemaslahatan umum, baik
keluarga maupun dirinya sendiri.
Meskipun demikian, sikap kedermawanan
Usman sebagai seorang saudagar kaya yang suka membantu orang lain yang dalam
kesusahan, tak dapat dihentikannya sewaktu ia menjabat kepala pemerintahan.
Sikap yang demikianlah yang membedakan Usman dari dua khalifah yang telah
mendahuluinya.
Kebijaksanaan khalifah dalam penggunaan
Baitulmal semata-mata didasarkan atas pertimbangan ijtihadnya dan tanggung
jawabnya kepada Allah SWT. Jabatan khalifah menurut suatu penilaian bukanlah
amanat yang diberikan atau dipercayakan oleh orang banyak, tetapi merupakan
amanat yang disampaikan Allah SWT kepada salah seorang hamba. Karena itu
kebijaksanaan yang diambil haruslah sejalan dengan ketentuan Allah SWT.
Disebutkan bahwa pada awal pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq terjadi suatu
peperangan yang dilancarkan oleh orang-orang murtad. Pemberontakan tersebut
dapat dipadamkan oleh Khalifah Abu Bakar. Setelah keamanan dalam negeri
benar-benar pulih, mulailah Islam bergerak ke luar Semenanjung Arabia, dari
belahan Afrika utara sampai ke India. Ke mana saja Islam masuk, di situ pula
Al-Qur'an ditinggalkan. Bahkan yang ditinggalkan itu bukanlah semata-mata
tulisan Al-Qur'an, akan tetapi juga para penghafalnya. Tulisan Al-Qur'an yang
ditinggalkan itu beragam bentuk dan susunan surat-suratnya, bahkan beragam pula
macam bacaan dialeknya. Jika bentuk bacaan dan ragam susunan Al-Qur'an tetap
dipertahankan, maka akan datang malapetaka, perselisihan, dan perpecahan dalam
kehidupan masyarakat muslim.
Orang yang mula-mula menaruh perhatian
terhadap kemungkinan pertikaian yang terjadi di kalangan masyarakat Islam dalam
hal bacaan Al-Qur'an adalah Huzaifah bin Yaman. Keadaan yang semacam ini segera
disampaikan kepada Khalifah Usman agar mendapatkan penyelesaian. Adapun langkah
awal yang diambil oleh Khalifah adalah meminta kumpulan naskah Al-Qur'an yang
disimpan Hafsah binti Umar. Naskah ini merupakan suatu kumpulan tulisan Al-Qur'an
yang berserakan pada zaman pemerintahan Abu Bakar. Khalifah Usman kemudian
membentuk suatu badan atau panitia pembukuan Al-Qur'an, yang anggotanya terdiri
dari Zaid bin Sabit sebagai ketua panitia dan Abdullah bin Zubair serta
Abdurrahman bin Haris sebagai anggota.
Tugas yang harus dilaksanakan oleh
panitia tersebut adalah membukukan lembaran-lembaran lepas dengan cara
menyalin ulang ayat-ayat Al-Qur'an ke dalam sebuah buku yang disebut mushaf.
Dalam pelaksanaannya, Usman menginstruksikan agar penyalinan tersebut harus
berpedoman kepa yang) bacaan mereka yang menghafalkan Al-Qur'an. Seandainya
terdapat perbedaan dalam pembacaan, maka yang ditulis adalah yang berdialek
Kuraisy, karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Kuraisy (Arab).
Salinan kumpulan Al-Qur'an yang dikenal
dengan nama al-Mushaf itu, oleh panitia diperbanyak sejumlah lima buah. Sebuah
tetap berada di Madinah, dan empat lainnya dikirimkan ke Mekah, Suriah, Basra,
dan Kufah. Semua naskah Al-Qur'an yang dikirim ke daerah-daerah itu dijadikan sebagai
pedoman dalam penyalinan berikutnya di daerah masing-masing.
Naskah salinan yang ditinggalkan di
Madinah disebut Mushaf al Imam. Adapun naskah yang berbeda dengan naskah
al-Imam dinyatakan tidak berlaku lagi. Perbedaan bacaan Al-Qur'an masih
ditemukan sampai dengan zaman sekarang, apalagi bila dihubungkan dengan adanya
hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Al-Qur'an dibaca dalam bentuk tujuh huruf.
Hal ini ditolerir, karena bacaan-bacaan tersebut diriwayatkan secara mutawatir.
Sebagai akibat dari tindakan Usman bin
Affan tersebut, di dalam masyarakat Islam hanya diperkenankan satu bentuk
mushaf Al-Qur'an. Bentuk ini diakui oleh semua golongan yang ada dalam
masyarakat muslim, baik Suni maupun Syiah.
Sejak diangkat sebagai semacam menteri
sekretaris negara yang mengepalai ad-Dawawin (beberapa dewan), pengaruh Marwan
bin Hakam terhadap kebijaksanaan Khalifah makin lama makin besar. Pada akhirnya
dialah yang menjadi motor penggerak dan pemegang kekuasaan. Sebagai akibat
dari kepercayaan besar yang diberikan Khalifah kepada Marwan, muncullah
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahan yang didominasi oleh rasa
kekeluargaan. Kenyataan itu tampak pada pengangkatan keluarga sendiri untuk
menduduki jabatan tinggi di setiap wilayah serta pengawasan yang longgar terhadap
sikap hidup mewah di kalangan para keluarga Marwan bin Hakam dan keluarga
Khalifah sendiri. Hal ini melahirkan jurang pemisah yang dalam antara orang
kaya dan orang miskin dalam masyarakat muslim.
Kebijaksanaan seperti itu melahirkan
berbagai reaksi dalam masyarakat. Pada awalnya reaksi tersebut hanya dalam
bentuk pembicaraan-pembicaraan sekelompok masyarakat yang merasa tidak puas.
Walaupun demikian keadaan ini dari waktu-kewaktu bertambah besar wujudnya.
Akhirnya, reaksi ketidaksenangan terhadap pemerintahan Usman bin Affan menjadi
nyata dan berkobar di setiap daerah.
Adapun reaksi yang bersifat terbuka
bermula di Irak pada tahun 30 H. Reaksi ini ditujukan kepada Panglima Walid bin
Uqbah, gubernur wilayah Irak, Azerbaijan, dan Armenia. Peristiwa ini diawali
oleh dijatuhinya hukuman mati terhadap tiga pemuda yang membunuh Ibnu Haisuman
al-Khuzai. Hukuman mati tersebut telah mengundang kemarahan Bani Azad, keluarga
pemuda yang dihukum, terhadap Walid bin Uqbah.
Sebagaimana di Irak, di Madinah juga
timbul pergolakan sebagai akibat munculnya pemberitaan bahwa Khalifah Usman
mundur dari kursi pemerintahan dan akan digantikan oleh Marwan bin Hakam.
Berita ini menimbulkan reaksi dan tanggapan kurang senang dari setiap wilayah,
sehingga muncullah suasana yang tak terkendalikan, kecuali di wilayah Suriah
yang diperintah oleh Mu'awiyah bin Abu Sufyan.
Pada tahun 35 H berangkatlah sekitar
500 orang dari Mesir menuju Mekah dengan dalih menunaikan ibadah haji. Adapun
tujuan yang sebenarnya adalah mengepung pusat pemerintahan dan memaksa Khalifah
untuk melepaskan jabatannya. Beriringan dengan rombongan tersebut, berangkat
pula sebuah gerakan dari Kufah dengan jumlah anggota yang sama di bawah
pimpinan Asham Amiri dan dari Basra dengan jumlah anggota yang sama pula. Tujuan
kedua rombongan ini sama dengan rombongan Mesir, yakni penyerangan terhadap
Khalifah.
Keadaan yang semacam ini memaksa Usman
bin Affan untuk mengambil tindakan keras. Akan tetapi, tindakan Usman tersebut
mendapat perlawanan pula dari pihak pemberontak. Rombongan dari Mesir mendapat
dukungan sebagian masyarakat muslim yang datang dari Kufah dan Basra.
Tuntutan pemberontak yang datang dari
Mesir di bawah pimpinan Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq membuat keadaan tidak
menentu. Mereka menuntut Khalifah untuk menyerahkan Marwan bin Hakam atau
Khalifah menyatakan diri mundur dari jabatannya. Satu tuntutan pun tidak
mendapat tanggapan dari Khalifah. Pada hari keempat pengepungan pusat
pemerintahan itu, terjadilah suatu peristiwa dan tragedi yang memilukan di
dalam sejarah Islam. Usman bin Affan terbunuh di tangan pasukan pemberontak
yang datang dari Mesir (al-Gafiki).
ALI BIN ABITALIB
(Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadan 40/24
Januari 661).
Khalifah keempat (terakhir) dari
al-Khulafa' ar-Rasyidiin (empat khalifah besar); orang pertama yang masuk Islam
dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi SAW yang kemudian menjadi menantunya.
Ayahnya, Abu Talib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abd Manaf, adalah kakak
kandung ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Muttalib. Ibunya bernama Fatimah
binti As'ad bin Hasyim bin Abd Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah
oleh ibunya. Nama itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia 6 tahun, ia diambil
sebagai anak asuh oleh Nabi SAW, sebagaimana Nabi SAW pernah diasuh oleh
ayahnya. Pada waktu Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, Ali baru menginjak
usia 8 tahun. la adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah
Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW. Sejak itu ia selalu bersama
Rasulullah SAW, taat kepadanya, dan banyak menyaksikan Rasulullah SAW menerima
wahyu. Sebagai anak asuh Rasulullah SAW, ia banyak menimba ilmu mengenai
rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoretis dan
praktis.
Sewaktu Nabi SAW hijrah ke Madinah
bersama Abu Bakar as-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah
Rasulullah SAW dan tidur di tempat tidurnya. Ini dimaksudkan untuk memperdaya
kaum Kuraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi SAW masih berada di rumahnya.
Ketika itu kaum Kuraisy merencanakan untuk membunuh Nabi SAW. Ali juga
ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang titipan kepada pemilik
masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan
sebaik-baiknya tanpa sedikit pun merasa takut. Dengan cara itu Rasulullah SAW
dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum
Kuraisy.
Setelah mendengar Rasulullah SAW dan
Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia
dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW, yang ketika itu (2 H)
berusia 15 tahun.
Ali menikah dengan 9 wanita dan
mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari Fatimah, Ali
mendapat dua putra dan dua putri, yaitu Hasan, Husein, Zainab, dan Ummu Kulsum
yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab. Setelah Fatimah wafat, Ali
menikah lagi berturut-turut dengan: 1) Ummu Bamin binti Huzam dari Bani Amir
bin Kilab, yang melahirkan empat putra, yaitu Abbas, Ja'far, Abdullah, dan
Usman; 2) Laila binti Mas'ud at-Tamimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu
Abdullah dan Abu Bakar; 3) Asma binti Umair al-Kuimiah, yang melahirkan dua
putra, yaitu Yahya dan Muhammad; 4) as-Sahba binti Rabi'ah dari Bani Jasym bin
Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang melahirkan dua anak, Umar dan
Ruqayyah; 5) Umamah binti Abi Ass bin ar-Rabb, putri Zaenab binti Rasulullah
SAW, yang melahirkan satu anak, yaitu Muhammad; 6) Khanlah binti Ja'far
al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah); 7)
Ummu Sa'id binti Urwah bin Mas'ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu
al-Husain dan Ramlah; dan 8) Mahyah binti Imri' al-Qais al-Kalbiah, yang melahirkan
seorang anak bernama Jariah.
Ali dikenal sangat sederhana dan zahid
dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya
antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu
bukan hanya diterapkan kepada dirinya, melainkan juga kepada putra-putrinya.
Ali terkenal sebagai panglima perang
yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-Iawannya. la
mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi SAW) bernama "Zul Faqar".
la turut-serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi SAW dan
selalu menjadi andalan pada barisan terdepan.
la juga dikenal cerdas dan menguasai
banyak masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana tergambar dari
sabda Nabi SAW, "Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu
gerbangnya." Karena itu, nasihat dan fatwanya selalu didengar para
khalifah sebelumnya. la selalu ditempatkan pada jabatan kadi atau mufti.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Ali
menunggui jenazahnya dan mengurus pemakamannya, sementara sahabat-sahabat
lainnya sibuk memikirkan soal pengganti Nabi SAW. Setelah Abu Bakar terpilih
menjadi khalifah pengganti Nabi SAW dalam mengurus negara dan umat Islam, Ali
tidak segera membaiatnya. la baru membaiatnya beberapa bulan kemudian.
Pada akhir masa pemerintahan Umar bin
Khattab, Ali termasuk salah seorang yang ditunjuk menjadi anggota Majlis
asy-Syura, suatu forum yang membicarakan soal penggantian khalifah. Forum ini
beranggotakan enam orang. Kelima orang lainnya adalah Usman bin Affan, Talhah
bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, dan Abdur Rahman bin
Auf. Hasil musyawarah menentukan Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti
Umar bin Khattab.
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan,
Ali banyak mengeritik kebijaksanaannya yang dinilai terlalu memperhatikan
kepentingan keluarganya (nepotisme). Ali menasihatinya agar bersikap tegas
terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan dengan mengatasnamakan
dirinya. Namun, semua nasihat itu tidak diindahkannya. Akibatnya, terjadilah
suatu peristiwa berdarah yang berakhir dengan terbunuhnya Usman.
Kritik Ali terhadap Usman antara lain
menyangkut Ubaidillah bin Umar, yang menurut Ali harus dihukum hadd (beberapa
jenis hukuman dalam fikih) sehubungan dengan pembunuhan yang dilakukannya
terhadap Hurmuzan. Usman juga dinilai keliru ketika ia tidak melaksanakan
hukuman cambuk terhadap Walib bin Uqbah yang kedapatan mabuk. Cara Usman
memberi hukuman kepada Abu Zarrah juga tidak disetujui Ali.
Usman meminta bantuan kepada Ali ketika
ia sudah dalam keadaan terdesak akibat protes dan huru-hara yang dilancarkan
oleh orang-orang yang tidak setuju kepadanya. Sebenarnya, ketika rumah Usman
dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan
Husein, untuk membela Usman. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah besar
dan sudah kalap, Usman tidak dapat diselamatkan.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum
muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka
beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi
khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata,
"Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting,
urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr."
Dalam suasana yang masih kacau,
akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai oleh sahabat-sahabat besar, yaitu
Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, dan para sahabat
lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pembaiatan dilakukan pada tanggal
25 Zulhijah 33 di Masjid Madinah seperti pembaiatan para khalifah pendahulunya.
Segera setelah dibaiat, Ali mengambil
langkah-langkah politik, yaitu: 1) memecat para pejabat yang diangkat Usman,
termasuk di dalamnya beberapa gubernur, dan menunjuk penggantinya; 2)
mengambil tanah yang telah dibagikan Usman kepada keluarga dan kaum kerabatnya
tanpa alasan yang benar; 3) memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil
dari baitulmal, seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar; pemberian dilakukan
secara merata tanpa membedakan sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dan yang
masuk belakangan; 4) mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan
kepentingan umat; dan 5) meninggalkan kota Madinah dan menjadikan Kufah sebagai
pusat pemerintahan.
Masa pemerintahan Ali diwarnai berbagai
pemberontakan. Pemberontakan pertama dilakukan oleh Talhah, Zubair dan Aisyah
binti Abu Bakar. Ketiga orang ini menuntut bela atas kematian Usman. Menurut
mereka, Ali bersalah karena tidak mau menghukum para pemberontak yang
menewaskan Usman, bahkan Ali didukung oleh kaum pemberontak itu. Untuk melawan
Ali, ketiga orang itu meminta bantuan tentara dari Basra dan Kufah. Di
kedua kota ini terdapat banyak pendukung Usman.
Ada pendapat, pemberontakan itu
dilatarbelakangi oleh keinginan Talhah dan Zubair untuk merebut jabatan
khalifah. Masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah, tetapi
ternyata Ali yang terpilih. Sementara itu Aisyah ikut terlibat karena diminta
oleh anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri, yaitu Abdullah bin
Zubair, yang juga berambisi menjadi khalifah.
Mendengar rencana Talhah, Zubair, dan
Aisyah, Ali segera mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke Basra.
Sesampai di sana Ali tidak segera menyerang, tetapi berupaya untuk berdamai
dengan mereka. Dia mengirim surat kepada Talhah dan Zubair agar mereka mau
berunding, tetapi ajakannya itu menemui kegagalan dan pertempuran dahsyat tidak
dapat dielakkan. Pertempuran itu dikenal dengan "Perang Jamal (unta)"
karena dalam pertempuran itu Aisyah mengendarai unta. Pertempuran ini berhasil
dimenangkan Ali. Zubair dan Talhah terbunuh. Adapun Aisyah, sebagai
penghormatan kepada ummul mukminin itu, dikirim kembali ke Madinah.
Pemberontakan kedua datang dari
kelompok Mu'awiyah bin Abu Sufyan, kerabat dekat Usman. Di masa Usman,
Mu'awiyah diangkat menjadi gubernur di Damascus. Ketika Ali terpilih menjadi
khalifah, Mu'awiyah tidak membaiatnya; ia menyatakan diri membangkang dengan
alasan menuntut bela atas kematian Usman.
Menghadapi pemberontakan Mu'awiyah, Ali
dan pasukannya segera meninggalkan Kufah menuju Syam (kini Suriah). Mendengar
kedatangan Ali dengan pasukannya, Mu'awiyah dan pasukannya bersiap-siap menghadang
di luar kota. Kedua pasukan itu bertemu di suatu tempat yang bernama Siffin.
Sebelum terjadi pertempuran, Ali menawarkan penyelesaian damai, tetapi
Mu'awiyah meno-lak. Lalu berkobarlah peperangan.
Setelah peperangan berlangsung beberapa
hari terlihat tanda-tanda kemenangan di pihak Ali. Pada saat Mu'awiyah dan
tentaranya terdesak, penasihat Mu'awiyah yang dikenal cerdik dan licik, Amr bin
As, meminta agar Mu'awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf Al-Qur'an
di ujung lembing-lembing sebagai isyarat berdamai. Dengan demikian Mu'awiyah
terhindar dari kekalahan total.
Perundingan damai berlangsung pada
bulan Ramadan 34. Setiap pihak menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru
penengah) dalam perundingan. Dari pihak Mu'awiyah ditunjuk Amr bin As, sedang
dari pihak Ali semula diusulkan Abdullah bin Abbas, tetapi pilihan Ali itu
diprotes oleh sebagian tentaranya, dengan alasan bahwa ia adalah kerabat Ali,
putra pamannya. Akhirnya, dengan berat hati Ali menyetujui Abu Musa al-Asy'ari.
Kedua hakim itu mempunyai watak dan
sikap yang sangat berbeda. Amr bin As dikenal pandai dalam mempergunakan siasat
dan tipu muslihat, sementara Abu Musa adalah orang yang lurus, rendah hati, dan
mengutamakan kedamaian.
Seusai perundingan, Abu Musa sebagai
yang tertua dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Maka, sesuai dengan
kesepakatan sebelumnya antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan pemberhentian
Ali dari jabatannya dan menyerahkan urusan penggantiannya kepada kaum muslimin.
Tetapi ketika gilirannya tiba, Amr bin As menyatakan persetujuannya atas
pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan khalifah bagi Mu'awiyah. Amr bin As
menyalahi kesepakatan semula yang dibuatnya bersama Abu Musa, yaitu
masing-masing menyetujui pemberhentian Ali maupun Mu'awiyah, agar tidak
terjadi lagi pertumpahan darah.
Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa
"tahkim" (arbitrase). Kelicikan Amr bin As dalam peristiwa itu
merugikan pihak Ali dan sebaliknya menguntungkan pihak Mu'awiyah. Tetapi
keputusan tahkim ini ditolak Ali ia tetap mempertahankan kedudukan sebagai
khalifah sampai terbunuh pada tahun 661.
Pemberontakan ketiga datang dari Aliran
Khawarij, yang semula merupakan bagian dari pasukan Ali dalam menumpas
pemberontakan Mu'awiyah, tetapi kemudian keluar dari barisan Ali karena tidak
setuju atas sikap Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak Mu'awiyah.
Karena mereka keluar dari barisan Ali, mereka disebut "Khawarij"
(orang-orang yang keluar). Jumlah mereka ribuan orang. Dalam keyakinan mereka,
Ali adalah amirulmukminin dan mereka yang setuju untuk bertahkim telah
melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya Tuhan yang berhak menentukan
hukum, bukan manusia. Oleh sebab itu, semboyan mereka adalah la hukma illa bi
Allah (tidak ada hukum kecuali bagi Allah). Ali dan sebagian pasukannya dinilai
telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan lawan.
Kelompok Khawarij menyingkir ke
Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Mereka mengangkat pemimpin sendiri, yaitu
Syibis bin Rub'it at-Tamimi sebagai panglima angkatan perang dan Abdullah bin
Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan. Di Harurah mereka segera menyusun
kekuatan untuk menggempur Ali dan orang-orang yang menyetujui tahkim, termasuk
di dalamnya Mu'awiyah, Amr bin As, dan Abu Musa al-Asyari. Kegagalan Ali dalam
tahkim menambah semangat mereka untuk mewujudkan maksud mereka.
Posisi Ali menjadi serba sulit. Di satu
pihak, ia ingin menghancurkan Mu'awiyah yang semakin kuat di Syam; di pihak
lain, kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika tidak segera
ditumpas. Akhirnya Ali mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij
terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam. Tetapi tercurahnya perhatian Ali
untuk menghancurkan kelompok Khawarij dimanfaatkan Mu'awiyah untuk merebut
Mesir.
Pertempuran sengit antara pasukan Ali
dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun
658, dan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Kelompok Khawarij berhasil
dihancurkan, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin mereka,
Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi, ikut terbunuh.
Sejak itu, kaum Khawarij menjadi lebih
radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di hati mereka. Secara
diam-diam kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh tiga orang yang di-anggap
sebagai biang keladi perpecahan umat, yaitu Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin As.
Pembunuhnya ditetapkan tiga orang, yaitu: Abdur Rahman bin Muljam ditugaskan
membunuh Ali di Kufah, Barak bin Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh
Mu'awiyah di Syam, dan Amr bin Bakar at-Tamimi ditugaskan membunuh Amr bin As
di Mesir. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil menunaikan tugasnya. la menusuk Ali
dengan pedangnya ketika Ali akan salat subuh di Masjid Kufah. Ali mengembuskan
napas terakhir setelah memegang tampuk pimpinan sebagai
khalifah selama lebih-kurang 4 tahun.
1 komentar:
jadilah khalifah selanjutnya
Posting Komentar